Sabtu, 01 Oktober 2011
Dalam cerita tentang Hujan
Orang berkata “langit sedang menangis”. Atau bidadari sedang berduka dan menumpahkan air matanya. Atau para dewa sedang bersedih. Tetapi tidak bagiku. Dan juga tidak bagi dirinya. Gadis penunggu hujan. Seorang gadis yang selalu menunggu hujan datang di depan teras rumahnya. Gadis yang akan selalu setia memandangi hujan yang turun dari langit yang gelap dengan awan hitam yang bergulung-gulung.
Dia berkata bahwa hujan itu adalah obat. Obat yang menenangkan. Menenangkan hati yang sedih. Hati yang gelisah. Hati yang terluka. Dia berkata bahwa hujan itu indah. Setiap tetesannya adalah mahakarya dari Sang Pencipta. Dia berkata bahwa memandangi hujan adalah kesenangannya. Seperti kesenanganku menikmati setiap tetesan air yang menerpa wajah dan kepalaku. Begitulah setidaknya hujan menurut kami.
Sebuah pertemuan tidak sengaja yang mempertemukanku dengan dia. Gadis penunggu hujan. Sebuah pertemuan singkat di depan sebuah bangunan yang merupakan sebuah sekolah. Ya, dia adalah teman lamaku. Teman yang sudah lama sekali tidak kuketahui rimbanya selama kurang lebih 4 tahun setelah kami menamatkan pendidikan sekolah menengah umum di kota kecil yang berada di pesisir pantai yang elok.
Pertemuan singkat itu membuatku membuka lagi kenangan-kenanganku saat masih sekolah dulu. Saat pertama kalinya aku diperkenalkan oleh seorang teman kepada dirinya. Si gadis penunggu hujan. Tapi saat itu dia belum menyukai hujan seperti dia menyukai hujan saat ini. Dan saat itu dirinya bukanlah dirinya yang sekarang. Tidak sama sekali. Kecuali satu hal. Sikapnya. Masih seperti dahulu. Selalu ceria. Bersahabat. Dan buka-bukaan.
Pertemuan singkat itu membuat perubahan besar dalam kehidupanku. Mengenalnya kembali seakan-akan aku menemukan seorang sahabat yang hilang puluhan tahun. Seakan-akan aku menemukan segelas air di gurun yang gersang. Padahal, dia bukanlah seorang sahabat dekat saat kami masih dibalut seragam putih abu-abu. Bahkan, untuk sekedar bertegur sapa pun sangat jarang terjadi.
Tetapi seperti yang kukatakan tadi teman, pertemuan singkat itu mampu merubah hidupku. Merubah pandanganku terhadapnya. Merubah anggapanku terhadapnya. Dan merubah caraku menikmati sesuatu yang disenanginya. Sesuatu yang selalu membuat orang sedih. Mellow. Menggerutu. Menyumpahi. Walau sebagian lagi menganggap itu adalah rahmat. Karena ladang-ladang yang dipenuhi tanaman untuk menyambung hidup keluarga akan mendapatkan minum yang cukup. Serta sawah-sawah yang akan memberi makan orang-orang di berbagai pelosok negeri akan memiliki cukup air sepanjang musim.
Hujan. Itulah satu yang aku ketahui tentangnya. Sesuatu yang selalu membuatnya kagum. Sesuatu yang selalu menenangkan hatinya. Sesuatu yang akan selalu dia tunggu di teras rumahnya kala tetes-tetes air itu turun membasahi bumi. Mendinginkan panasnya kota pesisir pantai ini. Menghapuskan debu-debu yang beterbangan di jalanan berbatu, seperti jalanan menuju rumahnya. Peraduannya. Tempatnya berlindung dari sosok yang disukainya. Hujan.
Sejenak hujan membasahi bumi, aku akan keluar dari kamarku. Menuju teras dan menikmati kekagumanku terhadap sebuah anugerah besar dari Tuhan. Dan aku akan selalu teringat akan dirinya. Si gadis penuggu hujan. Seorang gadis yang mampu memanipulasi hatiku. Bahkan tanpa dia berbuat apa-apa. Seorang gadis yang mampu membuat hatiku yang sudah tertutup untuk cinta kembali terbuka. Seorang gadis yang memiliki sorot mata teduh yang terbungkus lensa kontak. Seorang gadis dengan rambut lurus panjang sepunggung. Seorang gadis yang suka memakai bando di kepalanya. Seorang gadis yang memiliki senyum yang tidak akan pernah kulupakan. Seorang gadis yang sangat menyukai tetesan air yang turun dari langit.
Suatu hari dia bercerita padaku tentang hujan. Tentang bagaimana dirinya menyukai hujan. Bagaimana awal mula dia bisa begitu terpesona dengan sesuatu yang bernama hujan. Suatu benda cai yang menetes dari langit.
Kala itu, di malam yang gelap. Di sebuah taman kota di tempat dia menuntut ilmu. Taman yang dihiasi lampu-lampu merkuri berwarna kuning menerangi sebuah monumen di tengahnya. Dia berkisah bahwa saat itu sedang berjalan-jalan menikmati malam bersama beberapa teman. Mencoba melepaskan penat pikiran karena kesibukan kuliah dan juga lelah hati karena cinta. Mencoba menikmati sejuknya udara malam di daerah dataran tinggi itu. Sejurus kemudian, saat tengah menikmati malam itu, tiba-tiba langit menumpahkan butiran lembut gerimis dari langit yang gelap. Jatuh membasahi taman itu. Menambah dinginnya udara malam itu. Suasana yang akan membuat orang lain menarik rapat selimutnya hingga kepala. Tetapi dia menemukan sebuah harta karun dalam setiap butiran yang jatuh dari langit dan menimpa cahaya lampu merkuri berwarna kuning itu. Sebuah ketenangan. Sebuah kedamaian hati. Sebuah pembasuh sedih dan lara hati.
Memandangi tiap butiran air yang jatuh ke bumi dan tertimpa cahaya merkuri membuat hatinya selalu tenang. Itulah sekelumit yang aku dengar tentang mangapa dia menyukai hujan. Tentang mengapa dia selalu berada di tempat yang sama saat hujan turun. Teras rumah. Memandangi hal yang sama. Tetesan hujan yang turun dan tertimpa cahaya lampu.
Unik. Itulah yang aku dapatkan dari dirinya.
Istimewa. Itulah yang aku lihat dari dia.
Seiring waktu bersama, berbeda harap yang kudapat. Berbeda cara dalam hal saling memahami bagaimana perasaan masing-masing. Berbeda penilaian terhadap masing-masing sikap yang diwujudkan. Berbeda pandangan terhadap masa depan. Dan berbeda jalan menjalani hidup ini.
Tetapi bukankah perbedaan yang akan menyatukan dua insan?
Mungkin hanya aku yang berpendapat demikian. Atau mungkin aku yang terlalu berharap banyak padanya. Pada sesosok gadis putih yang sangat mengagumi tetesan anugerah Tuhan yang dijatuhkan dari langit. Dan diapun menghilang dalam rintikan hujan. Melangkah menuju hidup barunya. Meninggalkan semua kenangan di kota pesisir ini. Meninggalkan semburat rindu dalam hatiku. Meninggalkan sebingkai kenangan singkat bersama tanpa cinta. Meninggalkan setangkup harapan yang kutanam pada diriku. Meninggalkanku yang belum sempat meyakinkannya bahwa aku mencintainya.
Dan di sinilah aku berdiri. Di kota pesisir yang panas dan penuh kenangan ini. Menatap tetesan air yang turun membasahi kota ini. Memandang ke langit. Berharap dia akan kembali ke kota ini suatu saat. Untukku. Untuk hujan itu. Dan untuk merajut mimpiku bersamanya.
Dan di sinilah aku berdiri. Selalu menunggunya. Menunggunya kembali. Walau tak pasti. Walau kecewa. Walau terluka. Demi dia. Aku berdiri di sini. Menatap hujan itu. Menikmati siluet wajahnya yang muncul di otakku. Di hatiku. Gadis penunggu hujanku. Di sinilah aku akan selalu menunggumu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar